A. Pendahuluan
Mendekati tahun 2015, perbincangan mengenai butir-butir Millennium Development Goals (MDGs)
semakin hangat. Salah satu butir MDGs adalah mengenai kesetaraan gender yang
diletakkan di poin urutan ke-3. Seperti yang masyarakat umum ketahui, permasalahan
kesetaraan gender di dunia masih tinggi, terutama dalam hal pembagian peran dan
tanggung jawab, di mana pada umumnya memberatkan salah satu gender saja.
Makalah ini akan membahas tentang salah satu permasalahan
kesetaraan gender yang masih sering terjadi di
Indonesia, yaitu dalam hal penggunaan KB. Pemilihan topik ini dilatarbelakangi oleh masih adanya kesenjangan dalam penggunaan KB
yang seharusnya diikuti baik oleh pria maupun wanita. Pada umumnya, kesenjangan
tersebut bisa kita lihat dari faktor akses, partisipasi, manfaat, dan
pengambilan keputusan.
Dewasa ini, kondisi yang sangat terlihat mengenai minimalnya pengetahuan dan akses terhadap KB pada pria, yaitu: akses pria
terhadap informasi dan pelayanan KB masih terbatas; peserta KB
laki-laki masih
sangat sedikit sekali; masih
sangat sedikit pria yang mengetahui manfaat KB bagi diri dan keluarganya; dan masih dominannya suami dalam pengambilan keputusan KB. Hal tersebut seperti
menunjukkan bahwa pria seolah-olah pusat
dalam pengambilan keputusan sedangkan mereka sendiri masih sangat sedikit dalam
hal kontribusi pemakaian KB.
Pelaksanaan
program KB dari zaman dahulu
diarahkan untuk mengatasi tingginya angka kematian ibu. Oleh karena itu, ibu menjadi sasaran pokok program KB. Hal tersebut menyebabkan timbulnya anggapan
bahwa tanggung jawab ber-KB adalah urusan perempuan saja. Selain itu, seringkali
pria/suami merasa mampu untuk
menghidupi anak banyak sehingga pria hanya akan menyuruh istrinya untuk menggunakan kontrasepsi apabila mereka tidak mampu lagi untuk hamil
atau merawat bayi. Keputusan yang demikian
benar-benar hanya dibebankan untuk perempuan sedangkan para pria sendiri tidak
terlalu mengambil pusing mengenai adanya program KB untuk diri mereka sendiri.
Catatan BKKBN di tahun 2002 menunjukkan bahwa tingkat pemakaian kontrasepsi adalah 60,3%. Kontribusi
pria terhadap angka itu hanya 1,3% yang terdiri
dari kondom saja. Sedangkan di tahun 2011, jumlah
akseptor KB di Indonesia telah meningkat
menjadi 66,2%. Namun, peningkatan itu tidak diserati dengan
peningkatan penggunaan KB pada pria. Hal ini ditunjukkan oleh data yang
menunjukan jumlah akseptor kondom hanya sebesar 0,6% dan akseptor vasektomi
sebesar 0,3%. Hal ini brarti
bahwa
dari total akseptor KB aktif
di tahun 2011, pria yang menjadi akseptor KB hanya sebesar 0,9%.
Data lain menunjukkan bahwa dari
total 6.799.819,
akseptor KB pria di Indonesia baru
sekitar 3,25%.
Padahal, perkiraan permintaan masyarakat (PPM) nasional yang ditargetkan, partisipasi
pria dalam ber-KB adalah sebesar 4,5% dari seluruh akseptor. Berbeda dengan perkembangan penggunaan KB pada pria,
penggunaan KB pada wanita justru selalu megalami peningkatan. Hal ini terbukti
dari
jumlah pemakaian alat/cara ber-KB
oleh wanita berstatus kawin yang
mengalami
peningkatan dari 50% pada tahun 1991 menjadi 61% pada tahun 2007. Sedangkan
untuk jumlah akseptor Alat Kontrasepsi Bawah Kulit (AKBK) mencapai 2,8% (SDKI,
2007, p.75).
Dari segi
budaya di Indonesia, masyarakat mengikuti budaya patriarki atau mengikuti garis
keturunan ayah. Budaya patriarkhi yang melekat di masyarakat menjadikan
informasi yang dibawa istri sangat rawan ditolak oleh suami. Padahal perempuan
sendiri dianggap kurang mampu meneruskan informasi, Sehingga sampai saat ini
penyampaian informasi tentang alat kontrasepsi dan keluarga berencana masih
kurang efektif. Akhirnya, tingkat
pengetahuan pria tentang alat kontrasepsi pun masih kurang. Tingginya dominasi
suami dalam pengambilan keputusan perencanaan jumlah dan jarak kelahiran anak
juga ikut mempengaruhi rendahnya kesertaan pria dalam ber-KB.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar :)